Kamis, 14 Februari 2013

Catatan Buya


Medan, 15 Juni 1975
Hari ini engkau terlahir ke dunia, anakku.  Meski tidak seperti harapanku bertahun-tahun merindukan kehadiran seorang anak laki-laki, aku tetap bersyukur engkau lahir dengan selamat setelah melalui jalan divakum. Telah kupersiapkan sebuah nama untukmu; Qaulan Syadida..Aku sangat  terkesan dengan janji Allah dalam surat Al-Ahzab ayat tujuh puluh, maknanya perkataan yang benar. Harapanku engkau kelak menjadi seorang yang kaya iman dan memperoleh fauzan'adzima, kemenangan yang besar  seperti  yang engkau telah dijanjikan Allah dalam Al-Quran.  Sungguh  kelahiranmu  telah mengajarkanku makna bersyukur...

1981
Tahun ini engkau memasuki sekolah dasar. Usiamu belum genap enam tahun. Tetapi engkau terus merengek minta disekolahkan seperti saudarimu. Engkau berbeda dari keempat kakakmu terdahulu. Bagaimana engkau dengan gagah tanpa ragu atau malu-malu melangkah memasuki ruang kelasmu. Bahkan engkau tak minta dijemput. Saat ini aku mulai menyadari sifat keberanian yang tumbuh dalam dirimu yang tak kutemukan dalam diri saudarimu yang lain.

1987
Putriku, sungguh aku pantas bangga padamu.  Tahun ini engkau ikut  Cerdas Cermat tingkat nasional di TVRI.  Dengan bangga aku menyaksikan engkau tampil penuh percayar diri di layar kaca dan aku pun bisa berkata pada teman-temanku; itu anakku Qaulan...Meski tidak juara pertama, aku  tetap bangga padamu. Namun di balik rasa banggaku padamu selalu terbesit  satu kekhawatiran akan sikapmu yang agak aneh dalam pengamatanku.  Tidak seperti keempat kakakmu yang kalem dan cendrung memilik sifat-sifat perempuan, engkaujustru sangat angresif, pemberani, agak keras kepala, meski tetap santun padaku dan selalu juara kelas. Jika hari Ahad tiba, engkau lebih suka membantuku membersihkan taman,mengecat pagar, atau memegangi tangga bila aku  memanjat membetulkan  bocor. Engkau lebih sering mendampingiku dan bertanya tentang alat-alat pertukangan ketimbang membantu ibumu memasak di dapur seperti  saudarimu yang lain. Kebersamaan dan kedekatanmu denganku, membuatku sering meperlakukanmu sebagai anak lelakiku, dengan senang hati aku menjawab pertanyaan-pertanyaanmu, membekalimu dengan pengatahuan dan permainan  untuk anak lelaki.  Tak jarang kita berdua pergi memancing atau  sekedar menaikkan layang-layang sore hari di lapangan madrasah tempat aku  mengajar.

Putriku, sungguh kekhawatiranku berbuah juga.  Engkau menolak  bersekolah di tsanawiyah seperti saudarimu.  Diam-diam tanpa sepengetahuanku  engkau telah mendaftar di sebuah SMP negeri. Bukan kepalang kemarahanku.  Untunglah ibumu datang membelamu, jika tidak  mungkin tangan ini sudah berpindah ke pipimu yang putih mulus. Tegarnya watakmu, bahkan tak setetes airmata jatuh dari kedua matamu yang tajam menatapku. Putriku, jika aku marah padamu semata-mata karena aku khawatir engkau  larut dalam pola pergaulan yang tak benar, anakku.  Terlebih-lebih  saat  engkau menolak mengenakan jilbab seperti keempat kakakmu.  Betapa sedih  dan kecewa hatiku melihatmu, Nak...

1993
Tahun ini engkau menamatkan SMAmu.  Engaku tumbuh menjadi gadis  cantik, periang, pemberani, dan banyak teman.  Temanmu mulai dari tukang kebun sampai tukang becak, wartawan, bahkan  menurut ibumu pernah anggota  Kopassus datang mencarimu. Putriku, disetiap bangun pagiku, aku seolah tak percaya engkau adalah putriku, putri seorang yang sering dipanggil Ustadz, putri seorang  kepala madrasah, putri seorang pendiri perguruan Islam...
Putriku, entah mengapa aku merasa seperti kehilanganmu.  Sedih rasanya berlama-lama menatapmu dengan potongan rambut hanya berbeda beberapa  senti dengan rambutku.  Biar praktis dan sehat; berkali-kali itu alasan  yang kau kabarkan lewat ibumu.  Jika terjadi sesuatu yang tidak baik  pada  dirimu selama melewati usia remajamu, putriku maka akulah orang yang  paling bertanggung jawab atas kesalahan itu.  Aku tidak behasil mendidikmu dengan cara yang Islami.

Dalam doa-doa malamku selalu kebermohon pada Rabbul 'Izzati agar engkau dipelihara olehNya ketika lepas dari pengawasan dan pandangan mataku. Kesedihan makin bertambah takkala diam-diam engkau ikut UMPTN dan lulus di fakultas teknik. Fakultas teknik, putriku?  Ya Rabbana, aku tak  sanggup membayangkan engkau menuntut ilmu berbaur dengan ratusan anak laki-laki dan bukan satupun mahrommu?

Dalam silsilah keluarga kita tidak satupun anak perempuan belajar ilmu teknik, anakku.  Keempat kakakmu menimba ilmu di institut agama dan  ilmu keguruan.  Ya, silsilah keluarga kita adalah keluarga guru, anakku.
Engkau kemukakan sejumlah alasan, bahwa Islam juga butuh arsitek,  butuh teknokrat, Islam bukan tentang ibadah melulu...Baiklah, aku sudah  terlalu lelah menghadapimu, aku terima segala argumen dan pemikiranmu, putriku..Dan aku akan lebih bisa menerima seandainya engau juga  mengenakan   busana Muslimah saat memulai masa kuliahmu.

1995
Tahun ini tidak akan pernah kulupan. Akan kucatat baik-baik...Engkau putriku, yang selalu kusebut namamu dalam doa-doaku, kiranya Allah swt mendengar dan mengabulkan pintaku.  Ketika engkau pulang dari  kuliahmu; subhannalah! Engkau sangat cantik dengan jilbab dan baju panjangmu,  aku sampai tidak mengenalimu, putriku.
Engkau telah berubah, putriku..  Apa sesungguhnya yang engkau dapati  di luar sana.  Bertahun-tahun aku mengajarkan padamu tentang kewajiban Muslimah menutup aurat, tak sekalipun engkau cela perkataanku meski  tak sekalipun juga engkau indahkan anjuranku. Dua tahun di bangku kuliah,  tiba-tiba engkau mengenakan busana takwa itu?  Apa pula yang telah  membuatmu begitu mudah menerima kebenaran ini?

Putriku, setelah sekian lamanya waktu berlalu, kembali engkau  mengajarkan padaku tentang hakikat dan makna bersyukur.

1997
Putriku, kini aku menulis dengan suasana yang lain.  Ada begitu banyak asa tersimpan di hatiku melihat perubahan yang terjadi dalam dirimu. Engkau menjadi sangat santun, bahkan terlihat lebih dewasa dari keempat  saudarimu yang kini telah berumah tangga semuanya.  Kini, hanya engkau aku dan ibumu yang mendiami rumah ini.
Kurasakan rumah kita seolah-olah berpendar cahaya setiap saat  dilantuni tilawah panjangmu.  Gemercik suara air tengah malam menjadi irama yang kuhafal dan pantas kurenungi.
Putriku, jika aku pernah merasa bahagia,  maka saat paling bahagia  yang pernah kurasakan di dunia adalah saat ketika diam-diam aku memergokimu tengah menangis dalam sujud malammu....Selalu kuyakinkandiriku bahwa  akulah si pemilik mutiara cahaya hati itu, yaitu engkau putriku...

1998
Putriku, kalau saat ini aku merasa sangat bangga padamu, maka itu amat beralasan.  Engkau telah lulus menjadi sarjana dengan predikat cum laude. Keharuan yang menyesak dadaku mengalahkan puluhan tanya ibumu, diantaranya; mengapa engkau tidak punya teman pendamping pria seperti  kakak-kakakmu terdahulu?  Engkau begitu sederhana, putriku, tanpa  polesan apapun seperti lazimnya mereka yang akan berangkat wisuda, semua itu  justru membuatku semakin bangga padamu.  Entah darimana engkau bisa  belajar begitu banyak tentang kebenaran, anakku...
Jika hari ini aku meneteskan airmata saat melihatmu dilantik, itu adalah air mata kekaguman melihat kesungguhan, ketegaran, serta prinsip yang engkau pegang teguh.  Dalam hal ini akupun mesti belajar darimu,  putriku...

1 Agustus 1999
Putriku, bulan ini usiaku memasuki bilangan enampuluh tiga.  Aku teringat  Rasulullah mengakhiri masa dakwahnya didunia pada usia yang sama. Akhir-akhir ini tubuhku terasa semakin melemah.  Penyakit jantung yang kuderita selama bertahun-tahun kemarin mendadak kumat, saat kudapati jawaban diluar dugaan dari keempat saudarimu.  Tidak satu pun dari  mereka  bersedia meneruskan perguruan yang telah kubina selama puluhan tahun. Aku sangat maklum, mereka tentu mempunyai pertimbangan yang lain, yaitu para suami mereka.  Sedih hatiku melihat mereka yang telah kudidik sesuai dengan keinginanku kini seolah-oleh bersekutu menjauhiku.
Jika aku menulis diatas tempat tidur rumah sakit ini, itu dengan  kondisi sangat lemah, putriku.  Aku tak tahu pasti kapan Allah memanggilku. Putriku....kutitipkan buku harianku ini pada ibumu agar diserahkan  padamu. Aku percaya padamu...Jika aku memberikan buku ini padamu, itu karena aku ingin engkau mengetahui betapa besar cintaku padamu, mengapa dulu aku sering memarahimu..maafkan buya, putriku...

Kini hanya engkau satu-satunya harapanku...Aku percaya perguruan  yang telah kubangun dengan tanganku sendiri ini padamu.  Aku bercita-cita mengembangkannya menjadi sebuah pesantren.  Engkau masih ingat  lapangan tempat kita dulu menaikkan layangan?  Itu adalah tanah warisan  almarhum kakekmu.

Di lapangan itulah kurencanakan berdiri bangunan asrama tempat para santri bermukim. Engkau seorang arsitek, anakku, tentu lebih memahami bangunan  macam apa yang sesuai untuk kebutuhan sebuah asrama  pesantren... Kuserahkan sepenuhnya kepadamu, juga untuk mengelolanya nanti.  Sebab aku yakin, dari tanganmu, dari hatimu yang jernih, dari perkataan dan tindakanmu yang selalu sejalan dengan kebenaran akan terlahir sebuah  fauzan'adzima, kemenangan yang besar, seperti yang telah Allah  janjikan, yakinlah, putriku...

Dalam diri dan jiwamu kini terhimpun beragam kapasitas keilmuan dunia dan akhirat.  Kini kusadari engkau bukan saja sekedar terlahir dari rahim ibumu, tetapi juga lahir dari rahim bernama Hidayah.  Semoga Allah menyertai dan memudahkan jalan yang akan engkau lalui, putriku.  Amien  Ya Rabbal 'Alamiin.

12 Agustus 1999
Rabbi, jika airmata ini bukan tumpah, bukan karena aku tidak mengikhlaskan  buyaku Engkau panggil, tapi sebab aku belum mengenali buyaku selama  ini, seutuhnya.  Sebab hanya seujung kuku baktiku padanya.  Rabbi, perkenankan aku menjalankan amanah Buya dengan segenap radhi-Mu.  Hanya Engkau..ya  Mujib...
Happy Birthday to Buya  I Love you so much
14 September 1999

==========
Catatan (Moderator - KisahHikmah@YahooGroups.Com):
Penulis - Aisyah Shihab
Sumber  - Annida November-Desember 1999
Kiriman - Seorang Sahabat,01 December 1999

Insya Allah, Bermanfaat dan dapat dipetik Hikmahnya.
Wallahua'lam bishshowwaab
Wassalaamu'alaikum Wr Wb

Link unduh Ebook Catatan Buya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar