Jumat, 15 Februari 2013

Kasih Dari Sang Pengasih


Kemana truk Papa yang dulu berjumlah hampir dua puluh itu? Sederhana saja: dijual satu persatu. Mengapa? Untuk apa?

Ketika usahanya berhasil, Papa tak pernah berpaling sedikitpun dari teman-temannya. Maka ketika hari berlalu dan satu persatu teman Papa  muncul di rumah kami dengan wajah keruh dan pias,  satu demi satu truk dari usaha transportasi Papa pun digadaikan. Hasil  penggadaian itu dipinjamkan Papa pada mereka untuk membuka usaha yang lebih menjanjikan.

Tahun demi tahun berlalu. Truk Papa semakin sedikit, sementara uang Papa yangndipinjam hampir tak ada yang kembali. Ujung-ujungnya tak satu pun truk pun tersisa. Usaha transportasi Papa habis sudah. 

"Papa ingin berbuat baik. Papa berharap dan berdoa semoga dimana pun  anak-anak Papa nanti berada, orang akan  memperlakukan kalian seperti Papa memperlakukan mereka," ujar Papa padaku sambil tersenyum, sewaktu aku beranjak remaja.

Aku berumur 26 tahun dan telah menikah, ketika Papa meninggal, tahun 1976.nBanyak sekali orang yang datang melayat. Aku tak  mungkin melupakan mata basahnteman-teman Papa, wajah tetangga, para bekas pegawai Papa. Lalu tangis para tukang kue, hansip, tukang sampah, tukang loak, tukang roti, dan entah siapa yang memenuhi halaman rumah kami.

"Ketika akan memberhentikan saya karena usahanya bangkrut, Bapak  memberikan sepedanya pada saya. Katanya untuk  modal," suara serak seorang lelaki berkulit gelap, bekas pegawai Papa dulu.

"Bapak selalu memanggil kalau saya lewat di depan rumah ini. Ia memberikan pajangan,baju,barang-barang apa saja yang bisa menjualnya dan mendapatkan uang untuk makan sehari-hari. Bapak bilang saya boleh menggantinya kapan-kapan," kata tukang loak yang hampir tiap  hari lewat di depan rumah kami, sambil
terisak-isak.

Mama menatap mereka semua dengan mata  berkaca-kaca. Ya, Mama bukannya tak tahu ketika Papa secara sembunyi-sembunyi memberikan sesuatu pada orang  yang membutuhkan. Tetapi kelembutan dan ketulusan hati Papa membuatnya hanya mampu terdiam.

Ya, kelembutan hati Papa sangatkah menggetarkan dan membekas dalam. Ketika aku menikah dengan seorang pria suku Aceh,  kelembutannya pula yang  membawanya dan Mama untuk menerima kami, menerima keIslamanku. Padahal  kami adalah keluarga Katolik yang taat. Kemudian aku pindah ke Jakarta.

Saat itu Papa yang menetap di Bandung, mulai sering kontrol ke rumah sakit karena komplikasi lever, diabetes dan jantung. Namun ia masih sering memaksakan diri menjenguk anak-anakku sambil membawa balon-balon berwarna warni, yang di dalamnya berisi pasir-pasir halus.

"Mana Pasturnya?" suara Mama mengejutkanku. Hening. Angin mendesir,  menerobos masuk melalui pintu dan jendela rumah yang terbuka, menembus seluruh ventilasi, menyisakan dingin. Secara bersamaan kami menatap sosok pucat yang terbaring tenang dalam peti mati, tak jauh di hadapan kami.

Tiba-tiba, tiga orang pelayat, dengan langkah cepat menghampiri Mama, Pak RT, seorang tetangga, dan-.

"Jangan panggil Pastur, Bu!" seru mereka hampir  berbarengan.

"Bapak telah menjadi Muslim enam bulan yang lalu!" seru tetangga kami yang kemudian kuketahui sebagai Ketua Badan Ta'mir Masjid. Orang-orang bergumam. Mama terpaku. Tangisku pecah.

"A..apa buktinya?" tanya Mama kemudian dengan terbata-bata.

"Bapak menyimpan bacaan ayat-ayat Al Quran di bawah bantalnya, Bu. Begitu kata Bapak pada saya."

Kami bergegas menuju kamar Bapak. Beberapa carik kertas bertuliskan syahadat, Al fatihah, ayat Kursi dan yang lainnya, kami temukan di dalam sarung bantal yang dikenakan Bapak selama ini.

Di antara kertas koran berbahasa Cina, yang terlipat dua. Kami tertegun, Mama dan saudara-saudaraku yang lain berkata memang akhir-akhir ini sering melihat Papa membaca koran lusuh berbahasa Cina, ternyata dibaliknya terdapat ayat-ayat ini.  Mungkin ia mencoba menghafalkannya.

Meski Mama tampak terpukul dengan kenyataan ini, penyelenggaraan jenazah Papa dilakukan secara Islam.

Bagaimanapun aku tiada hentinya bersyukur. Alhamdulillah, hidayah itu datang, Subhanallah, Allah telah memberikan akhir yang baik kepada Papa. Rasa kasih yang selama ini Papa tunjukkan pada sesama, menjadi lebih berarti lagi. Kuusap airmataku dan tersenyum, kala mengingat betapa menjelang akhir ayatnya, Papa tak mempunyai apa-apa. Ia bahkan hanya memiliki dua potong celana panjang dan beberapa helai piyama. Satu-satunya peninggalan Papa yang paling banyak hanyalah sapu tangan.

Sampai hari ini, saat mengunjungi kuburan Papa, aku masih sering menahan haru. Aku pun berlama-lama duduk disisi makam, sambil menatap nama "Leo Arifin" yang terukir di batu nisan dengan rasa  bangga yang tak putus-putus.

Di sini terbaring seorang lelaki pengasih yang dikasihi banyak hati, dan mendapat kasih sejati dari Sang Maha Pengasih.

==========
Catatan (Moderator - KisahHikmah@YahooGroups.Com):
Penulis - Helvy Tiana Rosa
Sumber  - Seperti dituturkan oleh Maria Ery Susianti kepada Helvy Tiana Rosa,
disadur dari Buku Lentera Kehidupan : Cerita  Luar Biasa dari Orang-Orang Biasa
Kiriman -  Tuty , 11 Augustus 2003

Insya Allah, Bermanfaat dan dapat dipetik Hikmahnya.
Wallahua'lam bishshowwaab
Wassalaamu'alaikum Wr Wb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar