Kemana
truk Papa yang dulu berjumlah hampir dua puluh itu? Sederhana saja: dijual
satu persatu. Mengapa? Untuk apa?
Ketika
usahanya berhasil, Papa tak pernah berpaling sedikitpun dari teman-temannya.
Maka ketika hari berlalu dan satu persatu teman Papa muncul di rumah kami
dengan wajah keruh dan pias, satu demi
satu truk dari usaha transportasi Papa pun digadaikan. Hasil penggadaian itu dipinjamkan Papa pada mereka untuk
membuka usaha yang lebih menjanjikan.
Tahun
demi tahun berlalu. Truk Papa semakin sedikit, sementara uang Papa yangndipinjam
hampir tak ada yang kembali. Ujung-ujungnya tak satu pun truk pun tersisa. Usaha
transportasi Papa habis sudah.
"Papa
ingin berbuat baik. Papa berharap dan berdoa semoga dimana pun anak-anak Papa nanti
berada, orang akan memperlakukan kalian
seperti Papa memperlakukan mereka," ujar Papa padaku sambil tersenyum,
sewaktu aku beranjak remaja.
Aku
berumur 26 tahun dan telah menikah, ketika Papa meninggal, tahun 1976.nBanyak
sekali orang yang datang melayat. Aku tak
mungkin melupakan mata basahnteman-teman
Papa, wajah tetangga, para bekas pegawai Papa. Lalu tangis para tukang kue,
hansip, tukang sampah, tukang loak, tukang roti, dan entah siapa yang memenuhi
halaman rumah kami.
"Ketika
akan memberhentikan saya karena usahanya bangkrut, Bapak memberikan sepedanya
pada saya. Katanya untuk modal,"
suara serak seorang lelaki berkulit gelap,
bekas pegawai Papa dulu.
"Bapak
selalu memanggil kalau saya lewat di depan rumah ini. Ia memberikan pajangan,baju,barang-barang
apa saja yang bisa menjualnya dan mendapatkan uang untuk makan sehari-hari.
Bapak bilang saya boleh menggantinya kapan-kapan," kata tukang loak yang
hampir tiap hari lewat di depan rumah
kami, sambil
terisak-isak.
Mama
menatap mereka semua dengan mata
berkaca-kaca. Ya, Mama bukannya tak tahu ketika Papa secara
sembunyi-sembunyi memberikan sesuatu pada orang
yang membutuhkan. Tetapi kelembutan dan ketulusan hati Papa membuatnya
hanya mampu terdiam.
Ya,
kelembutan hati Papa sangatkah menggetarkan dan membekas dalam. Ketika aku menikah
dengan seorang pria suku Aceh, kelembutannya
pula yang membawanya dan Mama untuk
menerima kami, menerima keIslamanku. Padahal
kami adalah keluarga Katolik yang taat. Kemudian aku pindah ke Jakarta.
Saat
itu Papa yang menetap di Bandung, mulai sering kontrol ke rumah sakit karena
komplikasi lever, diabetes dan jantung. Namun ia masih sering memaksakan diri
menjenguk anak-anakku sambil membawa balon-balon berwarna warni, yang di dalamnya
berisi pasir-pasir halus.
"Mana
Pasturnya?" suara Mama mengejutkanku. Hening. Angin mendesir, menerobos masuk melalui pintu dan jendela
rumah yang terbuka, menembus seluruh ventilasi, menyisakan dingin. Secara
bersamaan kami menatap sosok pucat yang terbaring tenang dalam peti mati, tak
jauh di hadapan kami.
Tiba-tiba,
tiga orang pelayat, dengan langkah cepat menghampiri Mama, Pak RT,
seorang tetangga, dan-.
"Jangan
panggil Pastur, Bu!" seru mereka hampir
berbarengan.
"Bapak
telah menjadi Muslim enam bulan yang lalu!" seru tetangga kami yang kemudian
kuketahui sebagai Ketua Badan Ta'mir Masjid. Orang-orang bergumam. Mama terpaku.
Tangisku pecah.
"A..apa
buktinya?" tanya Mama kemudian dengan terbata-bata.
"Bapak
menyimpan bacaan ayat-ayat Al Quran di bawah bantalnya, Bu. Begitu kata Bapak
pada saya."
Kami
bergegas menuju kamar Bapak. Beberapa carik kertas bertuliskan syahadat, Al fatihah,
ayat Kursi dan yang lainnya, kami temukan di dalam sarung bantal yang dikenakan
Bapak selama ini.
Di
antara kertas koran berbahasa Cina, yang terlipat dua. Kami tertegun, Mama dan
saudara-saudaraku yang lain berkata memang akhir-akhir ini sering melihat Papa
membaca koran lusuh berbahasa Cina, ternyata dibaliknya terdapat ayat-ayat ini. Mungkin ia mencoba menghafalkannya.
Meski
Mama tampak terpukul dengan kenyataan ini, penyelenggaraan jenazah Papa dilakukan
secara Islam.
Bagaimanapun
aku tiada hentinya bersyukur. Alhamdulillah, hidayah itu datang, Subhanallah,
Allah telah memberikan akhir yang baik kepada Papa. Rasa kasih yang selama ini
Papa tunjukkan pada sesama, menjadi lebih berarti lagi. Kuusap airmataku
dan tersenyum, kala mengingat betapa menjelang akhir ayatnya, Papa tak mempunyai
apa-apa. Ia bahkan hanya memiliki dua potong celana panjang dan beberapa
helai piyama. Satu-satunya peninggalan Papa yang paling banyak hanyalah
sapu tangan.
Sampai
hari ini, saat mengunjungi kuburan Papa, aku masih sering menahan haru. Aku
pun berlama-lama duduk disisi makam, sambil menatap nama "Leo Arifin"
yang terukir
di batu nisan dengan rasa bangga yang
tak putus-putus.
Di
sini terbaring seorang lelaki pengasih yang dikasihi banyak hati, dan mendapat
kasih sejati dari Sang Maha Pengasih.
==========
Catatan
(Moderator - KisahHikmah@YahooGroups.Com):
Penulis
- Helvy Tiana Rosa
Sumber - Seperti dituturkan oleh Maria Ery Susianti
kepada Helvy Tiana Rosa,
disadur
dari Buku Lentera Kehidupan : Cerita
Luar Biasa dari Orang-Orang Biasa
Kiriman
- Tuty ,
11 Augustus 2003
Insya
Allah, Bermanfaat dan dapat dipetik Hikmahnya.
Wallahua'lam
bishshowwaab
Wassalaamu'alaikum
Wr Wb
Link unduh Ebook Kasih Dari Sang Pengasih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar