Jumat, 15 Februari 2013

Jogya 'N Los Angeles


"Kita harus mengakhirinya Ko, tak ada ikatan apapun dalam Islam antara seorang laki-laki dan wanita kecuali khitbah dan pernikahan, ini nggak benar Ko". Riko mendesis mengingat kata-kata Ayu sore tadi, ada sesuatu menyayat ulu hatinya, perih. Dan ia tak habis mengerti perubahan jalan pikiran Ayu akhir-akhir ini.

Riko memukulkan kepalan tangannya dengan keras ke meja hingga barang-barang yang diatasnya bergetar dan photo Ayu dalam bingkai yang berada di sudut jatuh dan pecah. Riko menyengir memandangi photo orang yang sebenarnya dikaguminya itu tapi dengan seenaknya memberi keputusan sepihak di antara pecahan kaca. Hatinya kalut membayangkan kepulangan Riki, saudara kembarnya, yang ditemani Alice sementara dirinya seorang diri menggigit bibir.

Terbayang saat-saat yang dihabiskanya selama 18 tahun bersama Riki sampai mereka memutuskan untuk berpisah, karena ia lebih memilih Yogya sebagai kelanjutan studinya tidak halnya dengan Riki yang menerima tawaran Oom mereka untuk melanjutkan ke LA. Ingatannya melayang ke percakapan mereka berdua sebelum Riki terbang ke LA.
”Inilah saatnya kita cari gandengan Ko"
"Betul, aku janji akan membawakan untukmu seorang calon ipar yang darahnya biru"
"Kalo mo ketemu mama jalanya pake nunduk-nunduk, hhh,. Hhhhaa"
"Haaa, haaha dan untuk calon iparku, kau harus bawa yang rambutnya kayak rambut jagung, kalo mau ketemu di pintu pagar sudah bilang hello"

"Ya deh aku janji"

Ada kerinduan menyeruak bila mengingat, bagaimana mereka saling meledek lalu tertawa bersama dan tiba-tiba wajah Riko bertambah sendu mengingat kesepakatan mereka untuk membawa pacarnya masing-masing dalam pertemuan Agung, begitu mereka mengistilahkan dan juga sepakat untuk merekam cerita masing-masing dalam kaset.
Riko memainkan kepulan asap rokoknya, dibayangkan hari-hari Riki bersama Alice, serba menyenangkan, penuh hura-hura dan kebebasan tanpa ada tetek bengek yang membelenggunya. Riko geram membandingkan dengan nasibnya.

*****
Riko mematikan mesin mobilnya, dengan gontai ia melangkah keluar. Dilangkahkan kakinya memasuki rumah dengan lewat tangga samping langsung menuju kamarnya yang juga kamar Riki. Sepi, mungkin Riki dan Alice baru ngobrol dengan Mama di bawah, pikirnya. Ketika mata Riko menangkap kaset yang tergeletak di meja dan ia yakin pasti itu rekaman Riki, segara disambarnya dan langsung mendekati tape. Sejenak setelah jari Riko menekan tombol Play ....

"Assalamu'alaikum Riko, aku kangen sekali padamu. Maaf Ko, aku tak bisa mengajak Alice seperti janjiku, ini janji yang satunya, dengar yaa... serius nih. Riko, LA memang dengan suka cita memberikan apa yang kebanyakan diimpikan anak muda, kebebasan, hura-hura dan kesenangan-kesenangan dunia yang lainnya yang memabukkan, di hampir setiap sudutnya justru ditawarkan dengan yang menggiurkan. Riko, jika bukan karena Islam, kemungkinan besar saudara kembarmu ini telah berubah menjadi binatang di sana. Hidup mematuhi nafsunya tanpa mengenal batasan dan tak lagi kenal apa itu halal dan haram.

Riko, segala puji hak Allah semata, yang telah mempertemukan dengan mas Arifin, orang Bandung yang baru mengambil S2. Lewat beliau aku mengkaji Al-Qur'an dan lewat beliau aku mengkaji Al-Qur'an dan lewat beliau Allah berkenan membukakan hatiku untuk mengenali Islam yang sesungguhnya, Islam sebagai sistem juga sebagai jalan hidup. Riko, sejak mengenal Islam, kuhentikan pacaranku dengan Alice, padahal aku begitu menunggu waktu pertemuan denganmu dimana aku bisa membanggakan Alice yang cantik, cerdas dan supel. Keputusan harus kuambil, meski sangat berat karena tangan-tangan nafsu begitu kuat mencengkramku.

Riko, Setelah aku mendapat gambaran yang jelas tentang Islam, aku bertekad untuk senantiasa hidup bersamanya, berusaha memberikan apa yang kubisa untuk membelanya dan mengimpikan kejayannya. Dengan itu mulai kurasakan artinya hidup dan ternyata di situlah aku menemukan ketentraman dan sejatinya kebahagiaan. Riko, Dalam setiap doaku aku selalu memohon, kamu pun .....

Riko segera menekan tombol stop, rasanya tak sanggup lagi ia mendengar suara Riki yang setiap kalimat seakan menelanjanginya. Rasanya Riko terhempas membandingkan apa yang ada di kepalanya dan yang di kepala Riki. Selama ini hidup yang dijalaninya sangatlah remeh, tak punya muatan apa-apa. Yang diotaknya
hanya apa yang akan menyenangkan nafsunya. Seperti ada batu besar yang menghimpit dadanya.

Di tengah berbagai kenikmatan dunia menyesatkan yang ditawarkan oleh pesatnya laju kemajuan zaman, Riki bisa menemukan jalan mana yang benar-benar bisa menyelamatkan dan mengantarkan ke surga yang sesungguhnya, sementara dirinya dibingungkan oleh kemajuan jaman yang tak dipahaminya, tak tahu arus  akan mengantarkanya ke mana. Riko meraba pipinya, jemarinya menemukan air yang mengalir dari sudut matanya. Rasa rindunya pada Riki sangat tak terbendung...

==========
Catatan (Moderator - KisahHikmah@YahooGroups.Com):
Penulis - Tidak Diketahui
Sumber  - TIdak Diketahui
Kiriman - Salah Satu Milist Islami,11 Juli 2003

Insya Allah, Bermanfaat dan dapat dipetik Hikmahnya.
Wallahua'lam bishshowwaab
Wassalaamu'alaikum Wr Wb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar