Untuk apakah kita hidup?
Tanyakanlah
ini kepada Mak Paenah yang tiap hari berjualan pecel di depan Gedung DPRD
Sumatera Utara (Sumut) di Medan. Dalam usianya yang-menurut pengakuannya-86 tahun,
Mak Paenah masih setia mendorong-dorong kereta
pecelnya demi mengumpulkan rupiah selembar demi selembar dari Rp 1.500
per pincuk (piring dari daun pisang) pecel jualannya itu. Gerobaknya cukup
berat dengan dua roda becak yang sering kempis anginnya. Sebuah topi bambu lebar
menemani tubuh ringkihnya menempuh jarak sekitar lima kilometer dari rumah
cucunya di kawasan Glugur ke Gedung DPRD Sumut di Jalan Imam Bonjol melewati
jalanan aspal yang terik dan ramai.
Setiap
hari, biasanya sekitar pukul 11.00, ia sudah tiba menggelar dagangannya. Dan,
beberapa jam kemudian, ia pulang lagi dengan kereta dorongnya yang sudah kosong
dan segepok uang di dalam tas pinggang yang terbuat dari kain batik lusuh.Soal
berapa banyak uang dalam tas pinggangnya itu, Mak Paenah sering tidak tahu. Ia
memang tidak peduli dapat uang berapa hari itu. Bahkan, sering ada beberapa
lembar ribuan tercecer di bawah kakinya, yang lalu diambilkan orang lain. Yang
ia tahu pasti, ia tidaklah pernah rugi. "Bathi kuwi ora usah okeh-okeh.
Serakah jenenge... (kalau untung itu jangan besar-besar. Serakah
namanya...)," katanya pelan. Tidak serakah ini pula yang membuat
Mak Paenah cenderung royal dalam memberi nasi pecel saat dagangannya hampir
habis. Kata orang, kalau beli di Mak Paenah, sebaiknya menjelang ia mau pulang.
Pasti dapat pecel lebih banyak.
Dengan
keyakinan pasti tidak rugi itu pula, sering Mak Paenah membelikan rokok untuk
orang lain yang tampak memerlukannya. Andi Lubis, fotografer harian Analisa,
Medan, yang perokok berat, beberapa kali diberi rokok oleh Mak Paenah kalau
tampak sedang bengong dan tidak merokok."Nyoh rokok. Kowe lagi ra duwe
duwit tho? (Ini rokok. Kamu sedang tidak punya uang kan?)" kata Mak Paenah
tanpa basa-basi. Bagi Mak Paenah, apa salahnya menyisihkan uang untuk
menyenangkan orang lain. Tidak jarang ia memberikan pecelnya secara gratis
kalau ada yang lapar, tapi tak punya uang.
***
JADI,
untuk apa Mak Paenah berjualan pecel dalam usianya yang sudah sangat senja itu?
Di kota-kota besar, orang-orang yang jauh lebih muda darinya sudah
santai-santai di rumah menikmati uang pensiun bersama cucu-cucu.
"Aku
bekerja karena memang manusia itu harus bekerja. Aku sakit kalau nganggur. Menganggur
adalah bersahabat dengan setan. Kerja selalu ada kalau kita mau mencarinya.
Jangan mau menganggur, sampai kita mati," katanya seakan ahli filsafat.
Banyak
yang meragukan apakah benar Mak Paenah benar telah berusia 86 tahun. Tapi,
mendengar beberapa cerita yang sering diungkapkannya sambil meracik pecel,
apalagi mengamati wajahnya yang selalu teduh itu, kita yakin bahwa setidaknya
ia sudah berusia di atas 80 tahun. Ia pernah bercerita bagaimana suaminya
yang tentara terbunuh dalam perang kemerdekaan, sementara saat itu anak
sulungnya kira-kira berusia belasan tahun. Begitu suaminya meninggal, rasa tanggung
jawab untuk menghidupi ketiga anaknya memaksa Mak Paenah yang lahir dan besar
di Blitar, Jawa Timur, ini berjualan pecel. Baginya, tidak ada cerita untuk
meminta belas kasihan dari orang lain.
"Aku
hanya bisa bikin pecel. Jadi, aku mencari makan dengan pecel ini. Sudah puluhan
tahun tanganku bikin sambel pecel. Sampai kapalan mengulek..he-he-he." kata
Mak Paenah sambil memamerkan mulutnya yang
sudah ompong.
Tapi,
setelah anak-anaknya bisa mandiri, untuk apa uangnya ?
"Keuntungan
penjualan, tiap hari saya simpan di bawah bantal. Uang itu saya
pakai
untuk menolong orang kalau ada yang membutuhkannya. Siapa tahu, kan?"
katanya
dengan arif. Mak Paenah menceritakan, ia pernah menolong tetangganya
yang
mendadak membutuhkan uang. Tetangganya itu tidak menyangka ketika tiba-tiba
Mak
Paenah yang hanya berjualan pecel itu mampu meminjaminya uang dalam jumlah
cukup
besar, tanpa bunga pula.
***
PADA
bulan Juni dan Juli 2002 , para wartawan Medan yang biasa mangkal di depan
Gedung DPRD kehilangan Mak Paenah. Dua bulan lebih wanita tua itu menghilang.
Banyak yang kuatir kalau-kalau Mak Paenah sakit, atau bahkan sudah meninggal
dunia. Dan, Mak Paenah baru muncul lagi pada akhir Juli. Ternyata, Mak Paenah
pulang ke Blitar menengok sanak saudaranya. Menurut dia, semua yang dikenalnya
sudah meninggal.
"Uangku habis Rp 3,5 juta untuk beli
oleh-oleh. Tapi, aku senang bisa melihat Blitar lagi. Sudah sangat berubah. Aku
sama sekali tidak bisa mengenali tempat mana pun di sana," katanya dengan
mata berbinar-binar, saat membicarakan kota yang ditinggalkannya pada
awal tahun 1940-an ini.
Namun,
sejak awal Agustus ini, Mak Paenah menghilang kembali. Setelah ditengok
ke
rumahnya, ternyata ia tidak kurang suatu apa.
"Aku
pindah tempat jualan. Aku ngalah pada yang muda yang lebih perlu uang,''
katanya
yang kemudian menimbulkan tanda tanya. Ternyata, Mak Paenah kini memilih berjualan
di Lapangan Merdeka. Menurut dia, di depan Gedung DPRD itu sudah muncul seorang
saingan. Seorang penjual pecel yang masih muda dilihatnya selalu berusaha
menyainginya dalam merebut hati pembeli.
"Aku
tidak ingin bersaing. Rezeki sudah ada yang mengatur, Allah. Biarlah aku
yang
sudah tua ini pindah," katanya tanpa emosi.
============
Catatan
(Moderator - KisahHikmah@YahooGroups.Com):
Penulis
- Arbain Rambey
Sumber
- Tidak Diketahui, 26 November 2002, kiriman teman.
Dipersingkat
pada beberapa bagian.
Insya
Allah, Bermanfaat dan dapat dipetik Hikmahnya..
Wallahua'lam
bishshowwaab
Wassalaamu'alaikum
Wr Wb
Ikutan
Yuk: KisahHikmah_subscribe@YahooGroups.Com
Link unduh Ebook Untuk Apakah Kita Hidup
Tidak ada komentar:
Posting Komentar